News

“Luka Patriarki dalam Keluarga Tionghoa: Kisah Vivi, Pemilik Hermin Salon, yang Berjuang Menuntut Keadilan Warisan”

×

“Luka Patriarki dalam Keluarga Tionghoa: Kisah Vivi, Pemilik Hermin Salon, yang Berjuang Menuntut Keadilan Warisan”

Sebarkan artikel ini

ELINE.NEWS,Makassar, Juli 2025 – Sebuah kisah yang mencerminkan luka panjang dari budaya patriarki di kalangan keluarga Tionghoa kembali mencuat ke publik. Adalah Vivi, pemilik Hermin Salon Makassar, yang akhirnya angkat suara mengenai ketidakadilan yang ia alami sebagai anak perempuan dalam pembagian warisan dan konflik keluarga yang semakin pelik.

Vivi menyatakan bahwa dalam tradisi keluarga Tionghoa yang masih menganut sistem kekerabatan patrilineal dan patriarkal, anak laki-laki dianggap lebih utama. “Anak laki-laki dipandang sebagai penerus marga dan secara tidak langsung mendapatkan perlakuan istimewa, bahkan dalam hal warisan, sekalipun mereka tidak bekerja membangun kekayaan keluarga,” ungkap Vivi saat diwawancarai.

Selama bertahun-tahun, Vivi bekerja keras bersama almarhum ibunya membangun Hermin Salon hingga menjadi salah satu usaha kecantikan ternama di Makassar. Namun, saat masuk pada tahap pembagian harta, adik laki-lakinya, JH, justru mendapatkan porsi terbesar, meskipun tidak pernah sekalipun terlibat dalam operasional usaha tersebut. JH saat ini dikenal sebagai pemilik enam pabrik air mineral di Makassar.

“Saya yang bekerja siang malam di salon bersama mami. Tapi begitu soal warisan, saya diperlakukan seperti orang luar. Bahkan rumah dan ruko yang dibeli dari hasil Hermin Salon diklaim sepihak sebagai milik JH dan istrinya, ST,” ujar Vivi dengan nada kecewa.

Masalah semakin rumit saat Vivi melaporkan ST ke Direktorat Kriminal Khusus Polda Sulsel pada Januari 2024. Laporan tersebut terkait dengan dugaan penghinaan, ujaran fitnah, dan pembunuhan karakter melalui aplikasi pesan WhatsApp kepada staf Vivi. Laporan itu ia ajukan sebagai bentuk pembelajaran dan shock treatment terhadap ST yang dianggap telah melewati batas. Sayangnya, proses hukum dinilai mandek tanpa kejelasan. Vivi tidak pernah menerima SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) hingga lebih dari satu tahun.

“Setiap kali kami tanyakan ke Krimsus, staf saya hanya diberitahu bahwa Kanit yang menangani kasus saya sedang sakit karena kecelakaan. Sampai hari ini tak ada kabar lanjutan. Padahal polisi awalnya menjanjikan akan memediasi,” keluhnya.

Sebaliknya, ST justru membuat laporan tandingan ke Kriminal Umum, menuduh Vivi melakukan penganiayaan. Kejadian itu disebut terjadi di ruko yang kini disewakan menjadi tempat usaha kuliner ayam palestina. Namun Vivi menegaskan bahwa bangunan tersebut merupakan hasil jerih payahnya bersama sang ibu, bukan properti pribadi ST. Sementara dlm laporan polisinya, ST menyatakan itu rumahnya.

“ST bukan ahli waris. Rumah itu dibeli dari omzet Hermin Salon, yang jelas-jelas saya bangun sendiri bersama mami. Tapi sekarang mereka menyewakan ruko itu ke usaha kuliner bernama Emmados tanpa menghargai perasaan saya yang menjual ayam Indonesia lebih dulu.

Vivi juga menceritakan kejadian menyakitkan ketika ia membutuhkan dana untuk operasi katarak yang mendesak. Saat itu, ia mencoba menjual sebidang tanah warisan. Namun, JH menolak menandatangani transaksi penjualan, kecuali Vivi bersedia menandatangani surat untuk tidak menghubunginya lagi lewat WhatsApp. “Mata saya saat itu tinggal 30 persen penglihatan. Karena uang tak tersedia, operasi tertunda selama tiga bulan,” ungkap Vivi.

Lebih jauh, Vivi mengklaim bahwa JH bahkan pernah memaksa agar ia menandatangani pembatalan hak atas salah satu ruko warisan. Hal ini dinilai sebagai bentuk pengabaian total terhadap kontribusinya terhadap Hermin salon selama bertahun-tahun.

“Mereka bilang tidak pernah minta uang sewa selama 15 tahun untuk ruko di pengayoman, saya jawab: harga sewa per tahun 100 juta, 15 tahun berarti 1,5 miliar. Sekarang harga ruko itu 4 miliar. Lho, ruko itu sudah kamu ambil, kembalinya mana?” tanya Vivi.

Vivi juga menyayangkan adanya informasi dari lingkungan ST yang menyebut akan “bermain uang besar” untuk mempengaruhi aparat. Bahkan JH sendiri, kata Vivi, menyatakan pada staf dan kuasa hukumnya bahwa ia sanggup membayar aparat agar kasus ini menguntungkan pihaknya.

“Saya menolak keras budaya yang menomorsatukan anak laki-laki dalam keluarga. Kalau anak perempuan yang bekerja dan menghasilkan, kenapa harus dibagi dua dengan saudara laki-laki yang tidak pernah membantu sedikit pun? Ini menciptakan manusia-manusia egois dan serakah,” ujarnya.

Vivi menegaskan bahwa harta yang dibeli dari omzet Hermin Salon—seperti rumah di Jl. Hasanuddin, Jl. Macan, hingga Puri Mutiara, The Mutiara, Citraland, apartemen Pasar Baru sampai ke tanah takalar seharusnya tidak bisa diberikan begitu saja kepada JH tanpa persetujuan dirinya. Ia menuntut agar harta itu dikembalikan, atau setidaknya dibagi secara adil sebagai bentuk penghormatan terhadap kontribusi dan jerih payahnya.

Menutup pernyataannya, Vivi mengajak masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk mengevaluasi kembali praktik pengasuhan yang bias gender, “Lihat hasil parenting yang tidak adil. Kami sekarang saling lapor ke Aparat Hukum, hubungan keluarga hancur. Sekali lagi saya tegaskan, jangan bermegah di atas keringat orang lain. Itu bukan hanya tidak adil, tapi juga tidak beretika, Siri’ na pacce!” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *