ELINE.NEWS,Makassar – Adik kandung mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo alias None, bersama Anggota DPRD Makassar Andi Pahlevi, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (28/11/2025).
Berdasarkan data yang diterima Liputan6.com, Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi dijerat Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, Pasal 266 KUHP tentang Penempatan Keterangan Palsu ke dalam Akta Autentik, serta Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP terkait penyertaan atau pemberian bantuan dalam tindak pidana.
Penetapan tersangka tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor B/2545/XI/RES.1.24/2025/Ditreskrimum.
Kasus ini diduga berkaitan dengan transaksi senilai Rp50 miliar dalam proses jual beli Sekolah Islam Al-Azhar yang berlokasi di Jalan Letjen Hertasning, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perkara tersebut, Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi diduga tidak mengakui adanya transaksi tersebut.
Atas penetapan itu, keduanya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar. Gugatan tersebut didaftarkan pada 10 Desember 2025 dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2025/PN Mks.
Kuasa hukum Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi, Muhammad Nursalam, membenarkan pengajuan praperadilan tersebut. Ia menyebutkan sidang praperadilan telah mengalami dua kali penundaan.
“Sudah dua kali penundaan. Penundaan pertama karena termohon tidak hadir, sementara penundaan kedua karena jawaban termohon belum siap,” kata Nursalam kepada wartawan di Pengadilan Negeri Makassar, Jumat (19/12/2025).
Menurut Nursalam, praperadilan diajukan lantaran pasal-pasal yang disangkakan tidak sesuai dengan perbuatan kliennya.
“Pasal yang disangkakan adalah Pasal 378 dan Pasal 266 KUHP. Padahal unsur penipuan harus memenuhi adanya serangkaian kata-kata bohong yang menggerakkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,” ujarnya.
Kronologi Transaksi Versi Pelapor
Transaksi Rp50 miliar tersebut disebut terjadi pada 2017 antara Irman Yasin Limpo dan seorang pengusaha berinisial BN. Transaksi itu berkaitan dengan rencana pembelian Sekolah Islam Al-Azhar di Jalan Letjen Hertasning, Makassar.
BN mengaku diminta membantu pendanaan karena pemilik sekolah saat itu, almarhum Andi Baso, tidak sanggup melunasi kewajiban kredit di bank. Irman Yasin Limpo disebut berminat membeli sekolah tersebut, namun tidak memiliki dana.
“Yang punya sekolah, Andi Baso, mau menjual karena tidak sanggup bayar ke bank. None mau beli, tapi tidak ada uang, sehingga menggunakan uang saya,” ujar BN.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Andi Baso hingga proses jual beli sekolah rampung. BN mengaku membuat surat perjanjian piutang di hadapan notaris yang turut ditandatangani oleh Andi Pahlevi.
“Dia janji satu bulan mau kembalikan uang itu, tapi tidak ditepati. Makanya kami laporkan ke Polda Sulsel sejak 2024,” kata BN.
BN juga menyebut Irman Yasin Limpo tidak menunjukkan iktikad baik untuk melunasi utang tersebut. Bahkan, namanya yang semula tercantum sebagai dewan pengawas yayasan pengelola sekolah disebut telah dihapus.
“Awalnya nama saya masuk di yayasan, tapi belakangan saya lihat sudah dihapus,” ungkapnya.
Ia mengaku kecewa karena berharap uang tersebut dapat kembali setelah sekolah diagunkan ke bank. Namun, hingga kini pembayaran tak kunjung diterima.
“Sempat digadai ke bank. Saya kira akan dibayar, ternyata tidak,” ujarnya.
Keterangan Kuasa Hukum Irman Yasin Limpo
Muhammad Nursalam menilai penetapan tersangka terhadap kliennya tidak tepat dan tidak didukung fakta hukum yang kuat.
“Pasal 378 mensyaratkan adanya penipuan berupa serangkaian kata-kata bohong. Sementara yang menerima uang dalam perkara ini adalah almarhum Andi Baso, bukan Irman Yasin Limpo maupun Andi Pahlevi,” kata Nursalam.
Ia menjelaskan, berdasarkan pengakuan pelapor sendiri, uang tersebut diserahkan kepada Andi Baso melalui pihak lain. Namun, karena Andi Baso telah meninggal dunia, peruntukan uang tersebut tidak dapat lagi diklarifikasi.
“Tidak mungkin orang yang tidak menerima uang diminta bertanggung jawab atas perbuatan pihak lain,” ujarnya.
Terkait adanya pengakuan utang, Nursalam menegaskan hal tersebut tetap harus dibuktikan dengan penyerahan uang secara nyata.
Sementara untuk Pasal 266 KUHP, ia menyebut sangkaan tersebut berkaitan dengan dikeluarkannya pelapor dari kepengurusan yayasan.
“Itu seharusnya ditempuh melalui mekanisme perdata, bukan pidana. Yayasan adalah organisasi sosial, bukan badan usaha. Pasal 266 mensyaratkan adanya kerugian nyata, sementara dalam yayasan tidak dikenal kerugian finansial seperti pada perseroan terbatas,” jelasnya.
Atas dasar itu, pihaknya mengajukan praperadilan karena menilai tidak terdapat kesesuaian antara alat bukti dan perbuatan yang disangkakan.
Terkait sidang praperadilan, Nursalam mengatakan persidangan telah dua kali ditunda dan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban serta pembuktian dari kedua belah pihak.
“Kami akan menghadirkan ahli pidana dan ahli perdata untuk menjelaskan keabsahan penetapan tersangka serta aspek hukum yayasan,” pungkasnya.
Polda Sulsel Belum Beri Tanggapan
Sementara itu, perwakilan Bidkum Polda Sulsel, AKP Samad, yang hadir dalam sidang praperadilan enggan memberikan komentar terkait upaya hukum yang ditempuh Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi.
“Saya tidak bisa memberikan komentar. Silakan ke humas,” ujarnya singkat saat ditemui di Pengadilan Negeri Makassar.
Hingga berita ini diturunkan, pesan singkat dan panggilan telepon yang dilayangkan Liputan6.com kepada Kapolda Sulsel Irjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulsel Kombes Pol Setiadi Sulaksono, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto, serta Kasubdit II Ditreskrimum Polda Sulsel AKBP Agus Khairul belum mendapat respons.













